Rabu, 29 Oktober 2008

Faktor Penentu Nilai Akhir


Faktor Penentu Nilai Akhir. Terkadang orang tua dan guru hanya melihat nilai akhir di raport sebagai standar penilaian terhadap keberhasilan belajar anak didik. Hal ini tentu tidak adil bagi anak, karena banyak faktor yang mempengaruhi perolehan nilai akhir tersebut. Faktor-faktor tersebut adalah:
· Lingkungan
Apakah ayah dan ibu menyisihkan waktu untuk menemani anak belajar di rumah? Apakah tersedia jumlah guru yang mencukupi sehingga mampu memberikan perhatian kepada setiap murid? Apakah teman sebaya anak suka mengajak belajar bersama atau justru mengajak bermain hingga lupa waktu?
· Kondisi Psikis
Apakah ketika tes pengambilan nilai berlangsung kondisi anak sedang dalam keadaan tenang atau sedang sakit, sedih, marah, lelah atau ketakutan sehingga tidak bisa mengerjakan soal dengan maksimal?
· Fasilitas Pendukung
Apakah ada buku ensiklopedi dan alat peraga untuk praktek sehingga mempermudah anak memahami pelajaran? Atau anak hanya memiliki buku paket saja?
· Perbedaan Cara Belajar
Banyak guru yang mengajar hanya dengan cara belajar auditorial yang mengandalkan pendengaran. Ini sangat menyulitkan anak yang belajar dengan cara visual (penglihatan) serta kinestetis (gerakan).
· Perbedaan Jenis Kecerdasan Yang Dominan
Ada 8 jenis kecerdasan otak, yang umumnya tiap anak memiliki beberapa jenis yang lebih dominan, dan ini akan tercermin dalam cara belajarnya. Jika guru tak mampu mengakomodir semua jenis kecerdasan yang ada, anak menjadi sulit menerima materi pembelajaran.
Jadi, mulai sekarang, marilah kita belajar untuk menghargai hasil belajar anak apa adanya dengan memperhatikan kemampuan dan keunikan masing-masing anak.

Selasa, 21 Oktober 2008

Salahnya Si Kodok

Anda atau pengasuh anak Anda pernah mengalami kejadian seperti ini.....??

1. Anak Anda tersandung sesuatu, nangis, lalu Anda atau pengasuh anak Anda menenangkan anak sambil mengucapkan: "Udah..., cep, cep, cep,....diam...!! Tuh, kodoknya udah lari...!"

2. Anak Anda jatuh, nangis, lalu Anda atau pengasuh anak Anda memukul-mukul lantai sambil mengucapkan: "Nakal...., nakal....., nakal....!!! Huh, nakal ya Dik, lantainya, sampai bikin Adik jatuh...!!!"

Kalo Anda masih melakukan hal seperti itu, berusahalah keras untuk menghilangkannya. Kalo pengasuh anak Anda berperilaku "tradisional" seperti itu untuk meredakan tangisan anak Anda, segera ingatkan untuk tidak mengulanginya lagi.

"Perilaku tradisional" seperti contoh di atas akan sangat berbahaya kalo sampai terekam kuat dalam ingatannya anak kita. Saat dewasa kelak, anak kita akan tumbuh menjadi orang yang tidak mampu bertanggung jawab dan selalu menimpakan kesalahan pada orang lain. Seperti kesalahan yang ditimpakan pada kodok atau lantai.

Lebih baik kita jelaskan pada anak untuk melangkah dan bertindak lebih hati-hati. Setiap langkah dan tindakan mengandung resiko yang harus dipertanggungjawabkan, termasuk jatuh yang mengandung resiko sakit atau luka.

Kamis, 16 Oktober 2008

Hadiah Sesuai Ranking Yang Menyesatkan


Hadiah Sesuai Ranking Yang Menyesatkan. Sebuah kebiasaan yang kerap dilakukan banyak orang tua adalah memberikan hadiah kepada anak atas hasil nilai rapor yang mereka dapatkan. Semakin tinggi ranking yang diperoleh, semakin besar pula hadiahnya. Kebiasaan seperti ini menstandarkan pemberian hadiah kepada hasil belajar, bukan pada proses belajarnya.

Mari kita pahami kondisi ini. Satu anggapan salah yang sering digunakan adalah bahwa orang tua menganggap anak akan termotivasi untuk belajar dengan baik jika ada iming-iming hadiah untuk nilai akhirnya. Untuk tahap awal, cara memotivasi ini bisa jadi bermanfaat karena membuat anak belajar giat. Akan tetapi ketika hasil yang diperoleh ternyata tidak sesuai harapan, lebih rendah dari target, sehingga hadiah yang dijanjikan tidak diperoleh, maka anak akan menjadi kecewa. Ini karena anak terlanjur memendam harapan terhadap perolehan hadiah tersebut.

Perlu dipahami juga bahwa resiko anak untuk gagal memperoleh prestasi terbaik pun ternyata tidak kecil. Diperlukan perjuangan yang cukup berat bagi anak untuk memperoleh peringkat 5 besar. Saingan yang begitu banyak hingga bisa mencapai 40 anak untuk sekolah yang menerapkan kelas besar.

Bagi mereka yang tidak berhasil meraih ranking ini, selain harus menelan kesedihan karena tidak berhasil memperoleh hadiah, mereka masih harus menerima pengertian baru bahwa mereka termasuk anak yang tidak diharapkan oleh lingkungan karena tidak mampu memenuhi harapan orang-orang di sekitarnya. Ini mengancam kehancuran harga diri mereka.

Lantas, apakah salah jika orang tua dan guru memotivasi anak untuk berkompetisi menjadi yang terunggul di kelas dengan cara pemberian hadiah berdasar ranking ini? Jawabnya, memang salah. Ada beberapa alasan yang bisa menjelaskan dan akan dibahas pada tulisan berikutnya.

Jadi, mulai sekarang, marilah kita hentikan pemberian hadiah berdasar ranking ini!