Seorang teman istriku menceritakan kisah berikut kepada kami:
Keputusanku
untuk berpisah dengan Mas tiga tahun yang lalu sama cepatnya dengan
keputusanku untuk menikah dengannya sebelas tahun yang lalu. Aku memang
terbiasa dengan kondisi di mana aku harus menentukan langkah dengan
cepat. Tanpa pernah berpikir panjang akibat di belakang. Profesi sebagai
atlit nasional yang sudah aku tekuni sejak usia 13 tahun hingga kini
sebagai pelatih nasional dan kehidupan yang keras di pusat pelatihan di
mana selama ini aku tinggal sangat mempengaruhi gaya hidup dan cara
pandangku terhadap suatu masalah. Aku terbiasa di posisi sebagai
pemenang dan selalu dipacu untuk menang. Kuakui, ini merupakan salah
satu hal yang mengakibatkan runtuhnya pondasi rumah tanggaku. Egoku
sangat kuat dan dominan.
Selama mengarungi bahtera rumah tangga
dengan Mas, alhamdulillah kami dikaruniai 2 buah hati yang saat ini
berusia 10 tahun dan 8 tahun. Setelah kami berpisah, anak-anak tinggal
bersama kakek dan neneknya dari pihak Mas, sedangkan aku kembali menetap
di pusat pelatihan. Pertimbangan mereka, tentunya tidak mungkin
mengajak anak-anak tinggal di pusat pelatihan yang kondisinya kurang
kondusif untuk perkembangan anak-anak. Lagipula, bapak dan ibu mertua
tetap mempersilakan aku untuk menengok anak-anak kapanpun aku mau.
Alhasil, setiap pagi aku menjemput anak-anak di rumah kakek neneknya dan
kemudian mengantar mereka ke sekolah. Siang harinya, aku kembali
menjemput anak-anak di sekolah dan mengantar mereka ke rumah kakek
neneknya. Sore harinya aku bisa konsentrasi melatih karena anak-anak
terlindungi dengan aman. Malam hari atau akhir pekan sering aku mengajak
anak-anak untuk sekedar berjalan-jalan dan jajan. Mas sendiri bekerja
di luar kota dan hanya menjenguk anak-anak dua kali dalam seminggu.
Semua
berjalan dengan baik selama tiga tahun ini. Setidaknya begitu dalam
pengamatanku. Hubunganku dengan anak-anak berjalan seperti normalnya
orang tua yang lain, meskipun kami harus berpisah tempat tinggal.
Prestasi Chacha, putri sulungku, di sekolah juga menunjukkan
perkembangan yang menggembirakan. Alhamdulillah dia selalu mendapatkan
peringkat pertama di kelasnya. Rafli, jagoanku, juga menunjukkan
prestasi yang tak kalah menggembirakan. Aku sangat bangga pada mereka.
Suatu
hari, seorang teman memperkenalkanku kepada seorang duda yang
diharapkan bisa menjadi pengganti kedudukan Mas sebagai suamiku.
Teman-temanku memang mengharapkan aku untuk segera menikah lagi
mengingat usiaku masih cukup muda, 31 tahun. Apalagi belakangan, aku
sering mendengar lewat pengajian-pengajian bahwa pernikahan yang
diniatkan untuk ibadah insya Allah akan lebih membawa barokah. Aku
meniatkan pernikahanku yang kedua ini semata-mata untuk beribadah kepada
Allah. Bukan berdasarkan nafsu duniawi yang tanpa pertimbangan
sebagaimana pernikahan pertamaku yang berakhir dengan kehancuran.
Menghadapi
hal ini, aku merasa perlu mengajak bicara Chacha. Tak adil menurutku
bila anak-anak ditinggalkan begitu saja tanpa dimintai pendapat,
meskipun mungkin pendapatnya hanya berdampak kecil terhadap keputusanku.
Apalagi Chacha sudah bisa dibilang beranjak dewasa, 10 tahun. Untuk
itu, suatu sore kuajak Chacha untuk keluar jajan berdua saja. Aku
menginginkan suasana yang benar-benar santai untuk mengobrol dengan
Chacha. Kami memilih untuk menikmati makanan di salah satu food court
di pusat perbelanjaan di Kediri.
"Mbak, Mama punya rencana mau
menikah lagi. Gimana pendapat Mbak?", tanyaku membuka pembicaraan.
Chacha
terdiam. Tak disangka, kedua sudut mata Chacha mulai mengalirkan air
mata. Aku kaget setengah mati.
"Lho, ada apa, Sayang?", aku
kebingungan.
"Ma, Chacha sudah minta ijin ke Yangkung supaya
Mama diperbolehkan tidur bersama kami di rumah Yangkung. Dan Yangkung
mengijinkan. Mama boleh kok tidur bersama kami di rumah Yangkung"
Jawaban
Chacha seakan tidak menjawab pertanyaanku, tapi sangat tampak bahwa ia
takut kehilangan kasih sayangku bila aku menikah lagi. Jawaban khas
anak-anak yang bermakna sangat dalam bagiku. Aku kebingungan
menjawabnya. Beberapa menit berikutnya kami larut dalam hening.
"Ma,
aku pengen ke surga", celetuknya dengan mantap tiba-tiba.
Aku
tercekat. Sedemikian beratkah beban mental yang diderita anakku sehingga
ia ingin mati dan masuk surga? Ya Allah, ampunilah aku. Aku menenangkan
diri sebelum melanjutkan bertanya kepada Chacha.
"Maksudnya
Chacha apa?"
"Ya, Ma. Chacha pengen ke surga dan ngomong sama
Allah supaya Mama dan Papa bisa bersatu lagi. Chacha pengen Mama, Papa,
Chacha dan Rafli bisa seneng-seneng seperti dulu lagi"
Subhanallah.
Ya Allah, aku tak percaya kalimat itu keluar dari mulut putriku yang
selama ini aku anggap sebagai anak kecil yang tak perlu didengar
pendapatnya. Dan tak kusangka anakku yang kuanggap baik-baik saja
keadaannya, ternyata menyimpan beban yang cukup besar akibat perpisahan
orang tuanya. Ampuni aku, ya Allah.
Detik itu juga aku urungkan
keinginanku untuk menikah lagi demi kedua buah hatiku. Aku benar-benar
tak ingin kehilangan mereka. Dan, beribadah bukan hanya semata-mata bisa
dilakukan melalui pernikahan. Pernikahan hanyalah satu jalan untuk
beribadah, masih banyak jalan lain yang bisa dilakukan untuk mengabdikan
diri kepada Allah. Seandainya sedari dulu aku mendengarkan pengajian
dan tahu bahwa pernikahan itu merupakan satu jalan ibadah, niscaya akan
berusaha aku redam egoku demi menyelamatkan bahtera rumah tanggaku yang
pertama dulu, demi ridho Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar