Minggu, 11 Desember 2011

Ma.. Aku Pengen Ke Surga..

Seorang teman istriku menceritakan kisah berikut kepada kami:

Keputusanku untuk berpisah dengan Mas tiga tahun yang lalu sama cepatnya dengan keputusanku untuk menikah dengannya sebelas tahun yang lalu. Aku memang terbiasa dengan kondisi di mana aku harus menentukan langkah dengan cepat. Tanpa pernah berpikir panjang akibat di belakang. Profesi sebagai atlit nasional yang sudah aku tekuni sejak usia 13 tahun hingga kini sebagai pelatih nasional dan kehidupan yang keras di pusat pelatihan di mana selama ini aku tinggal sangat mempengaruhi gaya hidup dan cara pandangku terhadap suatu masalah. Aku terbiasa di posisi sebagai pemenang dan selalu dipacu untuk menang. Kuakui, ini merupakan salah satu hal yang mengakibatkan runtuhnya pondasi rumah tanggaku. Egoku sangat kuat dan dominan.

Selama mengarungi bahtera rumah tangga dengan Mas, alhamdulillah kami dikaruniai 2 buah hati yang saat ini berusia 10 tahun dan 8 tahun. Setelah kami berpisah, anak-anak tinggal bersama kakek dan neneknya dari pihak Mas, sedangkan aku kembali menetap di pusat pelatihan. Pertimbangan mereka, tentunya tidak mungkin mengajak anak-anak tinggal di pusat pelatihan yang kondisinya kurang kondusif untuk perkembangan anak-anak. Lagipula, bapak dan ibu mertua tetap mempersilakan aku untuk menengok anak-anak kapanpun aku mau. Alhasil, setiap pagi aku menjemput anak-anak di rumah kakek neneknya dan kemudian mengantar mereka ke sekolah. Siang harinya, aku kembali menjemput anak-anak di sekolah dan mengantar mereka ke rumah kakek neneknya. Sore harinya aku bisa konsentrasi melatih karena anak-anak terlindungi dengan aman. Malam hari atau akhir pekan sering aku mengajak anak-anak untuk sekedar berjalan-jalan dan jajan. Mas sendiri bekerja di luar kota dan hanya menjenguk anak-anak dua kali dalam seminggu.

Semua berjalan dengan baik selama tiga tahun ini. Setidaknya begitu dalam pengamatanku. Hubunganku dengan anak-anak berjalan seperti normalnya orang tua yang lain, meskipun kami harus berpisah tempat tinggal. Prestasi Chacha, putri sulungku, di sekolah juga menunjukkan perkembangan yang menggembirakan. Alhamdulillah dia selalu mendapatkan peringkat pertama di kelasnya. Rafli, jagoanku, juga menunjukkan prestasi yang tak kalah menggembirakan. Aku sangat bangga pada mereka.

Suatu hari, seorang teman memperkenalkanku kepada seorang duda yang diharapkan bisa menjadi pengganti kedudukan Mas sebagai suamiku. Teman-temanku memang mengharapkan aku untuk segera menikah lagi mengingat usiaku masih cukup muda, 31 tahun. Apalagi belakangan, aku sering mendengar lewat pengajian-pengajian bahwa pernikahan yang diniatkan untuk ibadah insya Allah akan lebih membawa barokah. Aku meniatkan pernikahanku yang kedua ini semata-mata untuk beribadah kepada Allah. Bukan berdasarkan nafsu duniawi yang tanpa pertimbangan sebagaimana pernikahan pertamaku yang berakhir dengan kehancuran.

Menghadapi hal ini, aku merasa perlu mengajak bicara Chacha. Tak adil menurutku bila anak-anak ditinggalkan begitu saja tanpa dimintai pendapat, meskipun mungkin pendapatnya hanya berdampak kecil terhadap keputusanku. Apalagi Chacha sudah bisa dibilang beranjak dewasa, 10 tahun. Untuk itu, suatu sore kuajak Chacha untuk keluar jajan berdua saja. Aku menginginkan suasana yang benar-benar santai untuk mengobrol dengan Chacha. Kami memilih untuk menikmati makanan di salah satu food court di pusat perbelanjaan di Kediri.

"Mbak, Mama punya rencana mau menikah lagi. Gimana pendapat Mbak?", tanyaku membuka pembicaraan.

Chacha terdiam. Tak disangka, kedua sudut mata Chacha mulai mengalirkan air mata. Aku kaget setengah mati.

"Lho, ada apa, Sayang?", aku kebingungan.

"Ma, Chacha sudah minta ijin ke Yangkung supaya Mama diperbolehkan tidur bersama kami di rumah Yangkung. Dan Yangkung mengijinkan. Mama boleh kok tidur bersama kami di rumah Yangkung"

Jawaban Chacha seakan tidak menjawab pertanyaanku, tapi sangat tampak bahwa ia takut kehilangan kasih sayangku bila aku menikah lagi. Jawaban khas anak-anak yang bermakna sangat dalam bagiku. Aku kebingungan menjawabnya. Beberapa menit berikutnya kami larut dalam hening.

"Ma, aku pengen ke surga", celetuknya dengan mantap tiba-tiba.

Aku tercekat. Sedemikian beratkah beban mental yang diderita anakku sehingga ia ingin mati dan masuk surga? Ya Allah, ampunilah aku. Aku menenangkan diri sebelum melanjutkan bertanya kepada Chacha.

"Maksudnya Chacha apa?"

"Ya, Ma. Chacha pengen ke surga dan ngomong sama Allah supaya Mama dan Papa bisa bersatu lagi. Chacha pengen Mama, Papa, Chacha dan Rafli bisa seneng-seneng seperti dulu lagi"

Subhanallah. Ya Allah, aku tak percaya kalimat itu keluar dari mulut putriku yang selama ini aku anggap sebagai anak kecil yang tak perlu didengar pendapatnya. Dan tak kusangka anakku yang kuanggap baik-baik saja keadaannya, ternyata menyimpan beban yang cukup besar akibat perpisahan orang tuanya. Ampuni aku, ya Allah.

Detik itu juga aku urungkan keinginanku untuk menikah lagi demi kedua buah hatiku. Aku benar-benar tak ingin kehilangan mereka. Dan, beribadah bukan hanya semata-mata bisa dilakukan melalui pernikahan. Pernikahan hanyalah satu jalan untuk beribadah, masih banyak jalan lain yang bisa dilakukan untuk mengabdikan diri kepada Allah. Seandainya sedari dulu aku mendengarkan pengajian dan tahu bahwa pernikahan itu merupakan satu jalan ibadah, niscaya akan berusaha aku redam egoku demi menyelamatkan bahtera rumah tanggaku yang pertama dulu, demi ridho Allah.

Tidak ada komentar: