Senin, 12 Desember 2011

A True Life Story Of A Single Mom (Part 1)

Kisah berikut ini dituturkan kepadaku oleh ibu salah seorang temanku, Andri, beberapa tahun lalu di rumahnya yang asri di kawasan Pesantren, Kota Kediri. Kisah perjuangan seorang single mother dalam membesarkan 3 anak perempuannya beserta seluruh ujian yang menyertainya. Mungkin banyak ibu lain yang mengalami hal serupa. Tapi, dalam pandanganku, yang dialami ibu ini SANGAT LUAR BIASA.

____________________________________________________________________________

Sudah lebih dari 15 tahun Bapak pergi meninggalkan kami. Aku ingat waktu itu Andri sedang mempersiapkan diri masuk perguruan tinggi. Suatu kepergian yang sangat menyakitkan hati sekaligus membuatku bingung karena Bapak tidak meninggalkan apa-apa buat kami. Bapak pergi begitu saja, meninggalkan seluruh tanggung jawabnya terhadap anak-anak kepadaku.

Tidak ada waktu untuk bersedih merenungi kepergian Bapak ataupun berpangku tangan menanti uluran tangan. Aku harus berpikir dan bertindak cepat bagaimana caranya mengatasi kondisi ini. Kondisi yang cukup berat bagiku mengingat aku hanya ibu rumah tangga biasa yang tidak memiliki ketrampilan apa pun. Yang aku pikirkan waktu itu hanyalah bagaimana agar anak-anak bisa terus bersekolah, jangan sampai sekolahnya terputus. Andri menjelang masuk perguruan tinggi, adiknya Ita kelas 2 SMP, sedang si bungsu masih kelas 3 SD. Akhirnya, aku mencoba mencari nafkah dengan membuka usaha jahitan. Jangan membayangkan usaha jahitan dengan puluhan pekerja. Usaha ini hanya usaha rumahan yang aku kerjakan sendiri. Pesanan pun hanya terbatas dari kalangan keluarga dan tetangga. Alhamdulillah, usaha ini berkah dan berjalan lancar.

Di samping harus memikirkan bagaimana mencukupi kebutuhan anak-anak, masalah lain yang muncul adalah dampak psikologis yang dialami anak-anak akibat kepergian bapak mereka. Dampak terbesar timbul pada Ita, anak keduaku. Andri sudah beranjak dewasa sehingga bisa menerima keadaan dengan pikiran yang lebih matang, sedang si bungsu masih kecil dan tidak memiliki banyak kenangan bahagia dengan bapaknya. Tapi, Ita tampaknya terpukul cukup berat atas kepergian bapaknya. Dalam beberapa hal, terutama kecantikan fisik dan keberanian bertindak, Ita memang memiliki kelebihan dibandingkan kakak dan adiknya. Ita tumbuh menjadi gadis remaja yang bengal. Alhamdulillah, prestasinya di sekolah tidak menurun. Bahkan, ia sering dikirim sekolahnya untuk mengikuti berbagai kejuaraan bahasa Inggris, bidang pelajaran yang sangat disenanginya.

Saat beban hidup memuncak, sering aku menangis dan mengadu kepada Allah di malam-malam sunyi. Tapi satu prinsip yang kupegang: aku tidak akan pernah menangis di depan anak-anakku. Biarlah berat beban ini aku pikul sendiri. Aku harus tampak tegar di hadapan anak-anakku. Aku harus bisa memberikan teladan yang utama kepada mereka dan aku tidak mau beban ini menjadi beban mereka. Biarlah mereka berkonsentrasi menghadapi masa depannya yang masih panjang dan berliku.

3 tahun berlalu sejak kepergian Bapak. Alhamdulillah, Andri berhasil lulus kuliah sebagai ahli gizi dan mendapatkan pekerjaan di Papua. Tak lama berselang, Andri mendapat jodoh di Papua dan segera melangsungkan pernikahan. Satu beban berkurang. Sedangkan Ita, setelah lulus SMA meneruskan studi dengan mengambil kursus bahasa Inggris selama 1 tahun. Selepas dari kursus, Ita meminta ijin padaku untuk diperbolehkan bekerja di Bali. Alasan yang dikemukakan Ita, di Bali banyak pekerjaan yang sesuai dengan keahlian bahasa Inggris yang dimilikinya. Tak kuasa aku membendung keinginannya. Bagiku, Bali adalah tempat yang penuh dengan godaan duniawi. Sanggupkah Ita bertahan hidup di sana? Meskipun dengan hati yang berat, akhirnya aku lepas kepergian Ita ke Bali.

Tak lama berselang, terdengar kabar bahwa Ita berpacaran dengan seorang pria Bali yang notabene beragama non muslim. Bahkan akhirnya Ita sendiri yang memberitahukan kedekatannya dengan pria itu kepadaku. Tak mampu aku melarangnya. Aku hanyalah seorang wanita yang membesarkan anak-anakku. Setelah mereka dewasa dan mampu hidup mandiri secara finansial, maka aku tak berhak lagi atas mereka dan segala keputusan ada di tangan mereka sendiri. Aku hanya meminta Ita untuk memikirkan kembali pilihannya, terutama dari segi agama. Tapi rupanya Ita bergeming. Hubungannya dengan pria itu tetap berlanjut.

Sampai akhirnya terjadilah kecelakaan itu.

(Kisah akan berlanjut ke A True Life Story Of A Single Mom (Part 2))

Tidak ada komentar: