Jumat, 28 November 2008

Ungkapan Jujur Seorang Anak

Dikutip Dari Tulisan Abu Tamam Di Forum myquran.org (3 November 2008)
Semoga bermanfaat, terutama bagi yg belum membacanya.

Untuk renungan para orangtua....

Ungkapan Jujur Seorang Anak

Tahun 2002 yang lalu saya harus mondar-mandir ke SD Budi Mulia Bogor. Anak sulung kami yang bernama Dika, duduk di kelas 4 di SD itu. Waktu itu saya memang harus berurusan dengan wali kelas dan kepala sekolah. Pasalnya menurut observasi wali kelas dan kepala sekolah, Dika yang duduk di kelas unggulan, tempat penggemblengan anak-anak berprestasi itu, waktu itu justru tercatat sebagai anak yang bermasalah.

Saat saya tanyakan apa masalah Dika, guru dan kepala sekolah justru menanyakan apa yang terjadi di rumah sehingga anak tersebut selalu murung dan menghabiskan sebagian besar waktu belajar di kelas hanya untuk melamun. Prestasinya kian lama kian merosot. Dengan lemah lembut saya tanyakan kepada Dika:

"Apa yang kamu inginkan ?" Dika hanya menggeleng.

"Kamu ingin ibu bersikap seperti apa ?" tanya saya.

"Biasa-biasa saja" jawab Dika singkat.

Beberapa kali saya berdiskusi dengan wali kelas dan kepala sekolah untuk mencari pemecahannya, namun sudah sekian lama tak ada kemajuan. Akhirnya kami pun sepakat untuk meminta bantuan seorang psikolog.

Suatu pagi, atas seijin kepala sekolah, Dika meninggalkan sekolah untuk menjalani test IQ. Tanpa persiapan apapun, Dika menyelesaikan soal demi soal dalam hitungan menit. Beberapa saat kemudian, Psikolog yang tampil bersahaja namun penuh keramahan itu segera memberitahukan hasil testnya. Angka kecerdasan rata-rata anak saya mencapai 147 (Sangat Cerdas) dimana skor untuk aspek-aspek kemampuan pemahaman ruang, abstraksi, bahasa, ilmu pasti, penalaran, ketelitian dan kecepatan berkisar pada angka 140 - 160. Namun ada satu kejanggalan, yaitu skor untuk kemampuan verbalnya tidak lebih dari 115 (Rata-Rata Cerdas). Perbedaan yang mencolok pada 2 tingkat kecerdasan yang berbeda itulah yang menurut psikolog, perlu dilakukan pendalaman lebih lanjut. Oleh sebab itu psikolog itu dengan santun menyarankan saya untuk mengantar Dika kembali ke tempat itu seminggu lagi. Menurutnya Dika perlu menjalani test kepribadian.

Suatu sore, saya menyempatkan diri mengantar Dika kembali mengikuti serangkaian test kepribadian. Melalui interview dan test tertulis yang dilakukan, setidaknya Psikolog itu telah menarik benang merah yang menurutnya menjadi salah satu atau beberapa faktor penghambat kemampuan verbal Dika. Setidaknya saya bisa membaca jeritan hati kecil Dika. Jawaban yang jujur dari hati Dika yang paling dalam itu membuat saya berkaca diri, melihat wajah seorang ibu yang masih jauh dari ideal.

Ketika Psikolog itu menuliskan pertanyaan "Aku ingin ibuku :...."
Dika pun menjawab : "membiarkan aku bermain sesuka hatiku, sebentar saja" Dengan beberapa pertanyaan pendalaman, terungkap bahwa selama ini saya kurang memberi kesempatan kepada Dika untuk bermain bebas. Waktu itu saya berpikir bahwa banyak ragam permainan-permainan edukatif sehingga saya merasa perlu menjadwalkan kapan waktunya menggambar, kapan waktunya bermain puzzle, kapan waktunya bermain basket, kapan waktunya membaca buku cerita, kapan waktunya main game di komputer dan sebagainya. Waktu itu saya berpikir bahwa demi kebaikan dan demi masa depannya, Dika perlu menikmati permainan-permainan secara merata di sela-sela waktu luangnya yang memang tinggal sedikit karena sebagian besar telah dihabiskan untuk sekolah dan mengikuti berbagai kursus di luar sekolah. Saya selalu pusing memikirkan jadwal kegiatan Dika yang begitu rumit. Tetapi ternyata permintaan Dika hanya sederhana : diberi kebebasan bermain sesuka hatinya, menikmati masa kanak-kanaknya.

Ketika Psikolog menyodorkan kertas bertuliskan "Aku ingin Ayahku ..."
Dika pun menjawab dengan kalimat yang berantakan namun kira-kira artinya "Aku ingin ayahku melakukan apa saja seperti dia menuntutku melakukan sesuatu"
Melalui beberapa pertanyaan pendalaman, terungkap bahwa Dika tidak mau diajari atau disuruh, apalagi diperintah untuk melakukan ini dan itu. Ia hanya ingin melihat ayahnya melakukan apa saja setiap hari, seperti apa yang diperintahkan kepada Dika. Dika ingin ayahnya bangun pagi-pagi kemudian membereskan tempat tidurnya sendiri, makan dan minum tanpa harus dilayani orang lain, menonton TV secukupnya, merapikan sendiri koran yang habis dibacanya dan tidur tepat waktu. Sederhana memang, tetapi hal-hal seperti itu justru sulit dilakukan oleh kebanyakan orang tua.

Ketika Psikolog mengajukan pertanyaan "Aku ingin ibuku tidak ..."
Maka Dika menjawab "Menganggapku seperti dirinya"
Dalam banyak hal saya merasa bahwa pengalaman hidup saya yang suka bekerja keras, disiplin, hemat, gigih untuk mencapai sesuatu yang saya inginkan itu merupakan sikap yang paling baik dan bijaksana. Hampir-hampir saya ingin menjadikan Dika persis seperti diri saya. Saya dan banyak orang tua lainnya seringkali ingin menjadikan anak sebagai foto copy diri kita atau bahkan beranggapan bahwa anak adalah orang dewasa dalam bentuk sachet kecil.

Ketika Psikolog memberikan pertanyaan "Aku ingin ayahku tidak : .."
Dika pun menjawab "Tidak menyalahkan aku di depan orang lain. Tidak mengatakan bahwa kesalahan-kesalahan kecil yang aku buat adalah dosa"
Tanpa disadari, orang tua sering menuntut anak untuk selalu bersikap dan bertindak benar, hingga hampir-hampir tak memberi tempat kepadanya untuk berbuat kesalahan. Bila orang tua menganggap bahwa setiap kesalahan adalah dosa yang harus diganjar dengan hukuman, maka anakpun akan memilih untuk berbohong dan tidak mau mengakui kesalahan yang telah dibuatnya dengan jujur. Kesulitan baru akan muncul karena orang tua tidak tahu kesalahan apa yang telah dibuat anak, sehingga tidak tahu tindakan apa yang harus kami lakukan untuk mencegah atau menghentikannya. Saya menjadi sadar bahwa ada kalanya anak-anak perlu diberi kesempatan untuk berbuat salah, kemudian iapun bisa belajar dari kesalahannya. Konsekuensi dari sikap dan tindakannya yang salah adakalanya bisa menjadi pelajaran berharga supaya di waktu-waktu mendatang tidak membuat kesalahan yang serupa.

Ketika Psikolog itu menuliskan "Aku ingin ibuku berbicara tentang ....."
Dika pun menjawab "Berbicara tentang hal-hal yang penting saja".
Saya cukup kaget karena waktu itu saya justru menggunakan kesempatan yang sangat sempit, sekembalinya dari kantor untuk membahas hal-hal yang menurut saya penting, seperti menanyakan pelajaran dan PR yang diberikan gurunya. Namun ternyata hal-hal yang menurut saya penting, bukanlah sesuatu yang penting untuk anak saya. Dengan jawaban Dika yang polos dan jujur itu saya dingatkan bahwa kecerdasan tidak lebih penting dari pada hikmat dan pengenalan akan Tuhan. Pengajaran tentang kasih tidak kalah pentingnya dengan ilmu pengetahuan.

Atas pertanyaan "Aku ingin ayahku berbicara tentang ......",
Dika pun menuliskan "Aku ingin ayahku berbicara tentang kesalahan-kesalahannya. Aku ingin ayahku tidak selalu merasa benar, paling hebat dan tidak pernah berbuat salah. Aku ingin ayahku mengakui kesalahannya dan meminta maaf kepadaku".
Memang dalam banyak hal, orang tua berbuat benar tetapi sebagai manusia, orang tua tak luput dari kesalahan. Keinginan Dika sebenarnya sederhana, yaitu ingin orang tuanya sportif, mau mengakui kesalahnya dan kalau perlu meminta maaf atas kesalahannya, seperti apa yang diajarkan orang tua kepadanya.

Ketika Psikolog menyodorkan tulisan "Aku ingin ibuku setiap hari ....."
Dika berpikir sejenak, kemudian mencoretkan penanya dengan lancar "Aku ingin ibuku mencium dan memelukku erat-erat seperti ia mencium dan memeluk adikku"
Memang adakalanya saya berpikir bahwa Dika yang hampir setinggi saya sudah tidak pantas lagi dipeluk-peluk, apalagi dicium-cium. Ternyata saya salah, pelukan hangat dan ciuman sayang seorang ibu tetap dibutuhkan supaya hari-harinya terasa lebih indah. Waktu itu saya tidak menyadari bahwa perlakukan orang tua yang tidak sama kepada anak-anaknya seringkali oleh anak-anak diterjemahkan sebagai tindakan yang tidak adil atau pilih kasih.

Secarik kertas yang berisi pertanyaan "Aku ingin ayahku setiap hari ...."
Dika menuliskan sebuah kata tepat di atas titik-titik dengan satu kata "tersenyum"
Sederhana memang, tetapi seringkali seorang ayah merasa perlu menahan senyumannya demi mempertahankan wibawanya. Padahal kenyataannya senyuman tulus seorang ayah sedikitpun tidak akan melunturkan wibawanya, tetapi justru bisa menambah simpati dan energi bagi anak-anak dalam melakukan segala sesuatu seperti yang ia lihat dari ayahnya setiap hari.

Ketika Psikolog memberikan kertas yang bertuliskan "Aku ingin ibuku memanggilku. ..."
Dika pun menuliskan "Aku ingin ibuku memanggilku dengan nama yang bagus"
Saya tersentak sekali! Memang sebelum ia lahir kami telah memilih nama yang paling bagus dan penuh arti, yaitu Judika Ekaristi Kurniawan. Namun sayang, tanpa sadar, saya selalu memanggilnya dengan sebutan Nang. Nang dalam Bahasa Jawa diambil dari kata "Lanang" yang berarti laki-laki.

Ketika Psikolog menyodorkan tulisan yang berbunyi "Aku ingin ayahku memanggilku .."
Dika hanya menuliskan 2 kata saja, yaitu "Nama Asli".
Selama ini suami saya memang memanggil Dika dengan sebutan "Paijo" karena sehari-hari Dika berbicara dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Sunda dengan logat Jawa medok. "Persis Paijo, tukang sayur keliling" kata suami saya. Atas jawaban-jawaban Dika yang polos dan jujur itu, saya menjadi malu karena selama ini saya bekerja di sebuah lembaga yang membela dan memperjuangkan hak-hak anak. Kepada banyak orang saya kampanyekan pentingnya penghormatan hak-hak anak sesuai dengan Konvensi Hak-Hak Anak Sedunia. Kepada khalayak ramai saya bagikan poster bertuliskan "To Respect Child Rights is an Obligation, not a Choice" sebuah seruan yang mengingatkan bahwa "Menghormati Hak Anak adalah Kewajiban, bukan Pilihan".

Tanpa saya sadari, saya telah melanggar hak anak saya karena telah memanggilnya dengan panggilan yang tidak hormat dan bermartabat. Dalam diamnya anak, dalam senyum anak yang polos dan dalam tingkah polah anak yang membuat orang tua kadang-kadang bangga dan juga kadang-kadang jengkel, ternyata ada banyak Pesan Yang Tak Terucapkan. Seandainya semua ayah mengasihi anak-anaknya, maka tidak ada satupun anak yang kecewa atau marah kepada ayahnya. Anak-anak memang harus diajarkan untuk menghormati ayah dan ibunya, tetapi para orang tua tidak boleh membangkitkan amarah di dalam hati anak-anaknya. Para orang tua harus mendidik anaknya di dalam lingkungan rumah.

Semoga bermanfaat, dan menghasil generasi anak2 yang lebih baik.

Selasa, 25 November 2008

Pemberian Hadiah Harus Ada Batasnya

Pada topik sebelumnya telah dibahas bahwa pemberian hadiah hanyalah sebagai metoda perantara, tidak bisa menjadi metoda yang dipergunakan selamanya. Proses ini hanya difungsikan hingga tahap menumbuhkan kebiasaan saja. Setelah proses pembiasaan dirasa telah cukup, maka pemberian hadiah harus diakhiri.

Hal terpenting yang harus dilakukan adalah memberikan pengertian sedini mungkin kepada anak tentang batas waktu pemberian hadiah ini. Sampaikan dalam berbagai kesempatan bahwa tujuan pemberian hadiah hanyalah untuk menumbuhkan kebiasaan. Setelah pembiasaan tercapai, maka pemberian hadiah akan dihentikan. Hal ini untuk menghindari tumbuhnya harapan anak yang terlalu besar terhadap perolehan hadiah. Jangan sampai justru setelah pemberian hadiah dihentikan, timbul kekecewaan pada anak yang dapat menghilangkan kebiasaan baru yang telah terbentuk.

Bisa jadi anak akan memberikan reaksi atau protes ketika pemberian hadiah dihentikan. Atau, mereka akan mogok, berhenti melakukan perbuatan baik yang diharapkan. Namun di sinilah saatnya orang tua menunjukkan sikap tegas. Setelah orang tua berbaik hati memberi hadiah sekian lama, anak tentu memahami tujuan baik ayah ibunya. Meskipun pengertian tentang pembatasan telah diberikan, tetapi wajar jika anak mencoba menggoda orangtuanya agar mau terus memberikan hadiah.

Jika orang tua tidak kuat mendengar protes anak dan memberikan lagi hadiah, anak akan merasa berhasil mengendalikan orangtua. Di kesempatan lain, anak akan mengulangi cara yang sama untuk memperoleh perhatian orang tuanya. Sebaliknya, ketika orang tua bertahan pada komitmen untuk tidak memberikan hadiah yang sudah habis "masa berlaku"nya, anak pun akan bisa menerima, karena toh sudah sejak lama ia mengerti bahwa saat pemberhentian hadiah akhirnya akan datang juga.

Senin, 17 November 2008

Ensiklopedi Bocah Muslim



Ensiklopedi Bocah Muslim Merupakan Ensiklopedi Anak Muslim Indonesia yang pertama, Berisi pengetahuan dasar yang dibutuhkan anak, yang disajikan dalam bentuk yang menarik yang bertujuan untuk mengmbangkan 3 kecerdasan utama anak ( IQ,EQ dan SQ ) terdiri dari 15 jilid masing-masing jilid membahas tema tertentu :

1.Islam Agamaku
2. Tubuhku
3. Indonesiaku
4. Masyarakat dan Bangsa
5. Tokoh Idola
6. Sejarah
7. Seni
8. Dunia Binatang & mamalia
9. Burung dan serangga
10. Ikan, Reftil & Amfibi
11 Tumbuhan
12.Bumi Kita
13. Alam Semesta
14. Sains
15. Teknologi

Harga: Rp.2.550.000 (Disc 10%, belum ongkos kirim)

I Love My Al Qur'an




I Love My Al Qur'an membantu anak dan keluarga muslim untuk mempelajari Al-Qur'an dengan cara yang menyenangkan, pembaca akan diperkenalkan kepada kandungan makna ayat al Qur'an, mengenal kosakata Al Qur'an dan aspek-aspek lain dari al Qur'an.

Terdiri dari :

1. Tafsir dan terjemah plus hikmah Ayat : 15 jilid @ 44 hlm, Jenis kertas Isi ; AP 180 gr, Hard Cover.

2. Mushaf Al-Quran : 15 Jilid @ 44 hlm, Jenis Kertas Isi : AP 180 gr, Hard Cover

3. KAMUS : kata-kata unik AlQuran , 1 jilid, 88 hlm, jenis kertas isi :MP 150 gr, Hard Cover.

4. CD audio :16 lagu terjemahan surat-surat pendek.

5. Buku teks lagu berisi terjemahan surat-surat pendek : 1 jilid, 24 hlm, jenis kertas isi : MP 150 gr, soft cover.

6. Papan Permainan: Ukuran : 55cm x 42 cm, jenis kertas : magnetic board

Harga: Rp. 2.770.000 (Disc 10%, belum termasuk ongkos kirim)

Nabiku Idolaku



Nabiku Idolaku Merupakan kisah 25 nabi yang disajikan dalam kisah yang menarik, gambar yang memukau, dan hadist yang terjamin kesahihannya, terdiri dari 12 buku, masing-masing buku berkisah 1-3 nabi.

JUDUL BUKU :
1.Nabi Adam & Idris
2.Nabi Nuh & Hud
3.Nabi Shaleh & Luth
4.Nabi Ibrahim & Ismail
5.Nabi Ishaq & Ayyub
6.Nabi Yaqub & Yusuf
7.Nabi Dzulkifli & Syu'aib
8.Nabi Yunus, Musa & Harun
9.Nabi Ilyas & Ilyasa
10.Nabi Daud & Sulaiman
11.Nabi Zakaria & Yahya
12.Nabi Isa & Muhammad

Harga: Rp. 1.980.000. Disc 10% ( belum termasuk ongkos kirim )

Spesifikasi :

- Terdiri dari 12 jilid
- 48 halaman per Jilid
- Hard Cover
- Isi Kertas MatPaper 120 gr

Rabu, 29 Oktober 2008

Faktor Penentu Nilai Akhir


Faktor Penentu Nilai Akhir. Terkadang orang tua dan guru hanya melihat nilai akhir di raport sebagai standar penilaian terhadap keberhasilan belajar anak didik. Hal ini tentu tidak adil bagi anak, karena banyak faktor yang mempengaruhi perolehan nilai akhir tersebut. Faktor-faktor tersebut adalah:
· Lingkungan
Apakah ayah dan ibu menyisihkan waktu untuk menemani anak belajar di rumah? Apakah tersedia jumlah guru yang mencukupi sehingga mampu memberikan perhatian kepada setiap murid? Apakah teman sebaya anak suka mengajak belajar bersama atau justru mengajak bermain hingga lupa waktu?
· Kondisi Psikis
Apakah ketika tes pengambilan nilai berlangsung kondisi anak sedang dalam keadaan tenang atau sedang sakit, sedih, marah, lelah atau ketakutan sehingga tidak bisa mengerjakan soal dengan maksimal?
· Fasilitas Pendukung
Apakah ada buku ensiklopedi dan alat peraga untuk praktek sehingga mempermudah anak memahami pelajaran? Atau anak hanya memiliki buku paket saja?
· Perbedaan Cara Belajar
Banyak guru yang mengajar hanya dengan cara belajar auditorial yang mengandalkan pendengaran. Ini sangat menyulitkan anak yang belajar dengan cara visual (penglihatan) serta kinestetis (gerakan).
· Perbedaan Jenis Kecerdasan Yang Dominan
Ada 8 jenis kecerdasan otak, yang umumnya tiap anak memiliki beberapa jenis yang lebih dominan, dan ini akan tercermin dalam cara belajarnya. Jika guru tak mampu mengakomodir semua jenis kecerdasan yang ada, anak menjadi sulit menerima materi pembelajaran.
Jadi, mulai sekarang, marilah kita belajar untuk menghargai hasil belajar anak apa adanya dengan memperhatikan kemampuan dan keunikan masing-masing anak.

Selasa, 21 Oktober 2008

Salahnya Si Kodok

Anda atau pengasuh anak Anda pernah mengalami kejadian seperti ini.....??

1. Anak Anda tersandung sesuatu, nangis, lalu Anda atau pengasuh anak Anda menenangkan anak sambil mengucapkan: "Udah..., cep, cep, cep,....diam...!! Tuh, kodoknya udah lari...!"

2. Anak Anda jatuh, nangis, lalu Anda atau pengasuh anak Anda memukul-mukul lantai sambil mengucapkan: "Nakal...., nakal....., nakal....!!! Huh, nakal ya Dik, lantainya, sampai bikin Adik jatuh...!!!"

Kalo Anda masih melakukan hal seperti itu, berusahalah keras untuk menghilangkannya. Kalo pengasuh anak Anda berperilaku "tradisional" seperti itu untuk meredakan tangisan anak Anda, segera ingatkan untuk tidak mengulanginya lagi.

"Perilaku tradisional" seperti contoh di atas akan sangat berbahaya kalo sampai terekam kuat dalam ingatannya anak kita. Saat dewasa kelak, anak kita akan tumbuh menjadi orang yang tidak mampu bertanggung jawab dan selalu menimpakan kesalahan pada orang lain. Seperti kesalahan yang ditimpakan pada kodok atau lantai.

Lebih baik kita jelaskan pada anak untuk melangkah dan bertindak lebih hati-hati. Setiap langkah dan tindakan mengandung resiko yang harus dipertanggungjawabkan, termasuk jatuh yang mengandung resiko sakit atau luka.

Kamis, 16 Oktober 2008

Hadiah Sesuai Ranking Yang Menyesatkan


Hadiah Sesuai Ranking Yang Menyesatkan. Sebuah kebiasaan yang kerap dilakukan banyak orang tua adalah memberikan hadiah kepada anak atas hasil nilai rapor yang mereka dapatkan. Semakin tinggi ranking yang diperoleh, semakin besar pula hadiahnya. Kebiasaan seperti ini menstandarkan pemberian hadiah kepada hasil belajar, bukan pada proses belajarnya.

Mari kita pahami kondisi ini. Satu anggapan salah yang sering digunakan adalah bahwa orang tua menganggap anak akan termotivasi untuk belajar dengan baik jika ada iming-iming hadiah untuk nilai akhirnya. Untuk tahap awal, cara memotivasi ini bisa jadi bermanfaat karena membuat anak belajar giat. Akan tetapi ketika hasil yang diperoleh ternyata tidak sesuai harapan, lebih rendah dari target, sehingga hadiah yang dijanjikan tidak diperoleh, maka anak akan menjadi kecewa. Ini karena anak terlanjur memendam harapan terhadap perolehan hadiah tersebut.

Perlu dipahami juga bahwa resiko anak untuk gagal memperoleh prestasi terbaik pun ternyata tidak kecil. Diperlukan perjuangan yang cukup berat bagi anak untuk memperoleh peringkat 5 besar. Saingan yang begitu banyak hingga bisa mencapai 40 anak untuk sekolah yang menerapkan kelas besar.

Bagi mereka yang tidak berhasil meraih ranking ini, selain harus menelan kesedihan karena tidak berhasil memperoleh hadiah, mereka masih harus menerima pengertian baru bahwa mereka termasuk anak yang tidak diharapkan oleh lingkungan karena tidak mampu memenuhi harapan orang-orang di sekitarnya. Ini mengancam kehancuran harga diri mereka.

Lantas, apakah salah jika orang tua dan guru memotivasi anak untuk berkompetisi menjadi yang terunggul di kelas dengan cara pemberian hadiah berdasar ranking ini? Jawabnya, memang salah. Ada beberapa alasan yang bisa menjelaskan dan akan dibahas pada tulisan berikutnya.

Jadi, mulai sekarang, marilah kita hentikan pemberian hadiah berdasar ranking ini!

Jumat, 26 September 2008

Agar Anak Menerima Adiknya

Apa yang dialami anak ketika adiknya lahir? Perhatian yang tiba-tiba hilang, kebersamaan yang tiba-tiba lenyap dan kasih sayang yang tiba-tiba terenggut darinya.

Ada beberapa hal yang perlu kita lakukan agar lahirnya adik menjadi kabar gembira bagi semua, terutama buat kakaknya. Beberapa catatan berikut insya Allah dapat kita pertimbangkan.


SEBELUM ADIK LAHIR

1. Kondisikan
Sejak ibu positif hamil, komunikasi sudah harus dimulai. Kabarkan kepada anak bahwa kelak, insya Allah ia akan punya adik. Saat ini juga, kondisikan anak untuk mulai menerima kehadiran anggota keluarga yang baru. Perlahan-lahan siapkan anak untuk lebih mandiri, sekaligus beri pujian bahwa ia sudah besar.

2. Asyiknya Punya Adik
Saat bayi dalam kandungan sudah bisa menendang-nendang perut ibu, pegangkan tangan anak ke perut ibu. Tunjukkan "yang lucu" padanya. katakan bahwa adiknya ingin mengajak kakaknya bermain-main bersama. Dari sini, sampaikan betapa asyiknya nanti kalau sudah punya adik, bisa bermain-main bersama. Dengan demikian, anak sudah mulai menunggu kelahiran adik. Anak mulai tumbuh rasa sayangnya sebelum adiknya lahir

3. Tumbuhkan Tanggungjawab Dan Kepercayaan
Usahakan untuk memiliki saat-saat berdua yang akrab dengan anak. Ajaklah berbicara dari hati ke hati. Besarkan hatinya dan tunjukkan bahwa ia sudah besar. Tumbuhkan pula kepercayaan pada anak. Sampaikan bahwa anak bisa menunggui adiknya, bisa membantu mengambilkan popok, dan seterusnya. Sampaikan apa yang menjadi tanggungjawabnya sebagai bentuk kepercayaan kita kepadanya. Bukan sebagai tuntutan yang membebani.


MENJELANG ADIK LAHIR

1. Beri Gambaran Sebelumnya
Sampaikan kepada anak beberapa hari sebelum hari perkiraan lahir tentang akan lahirnya adik. Beri gambaran kepadanya bahwa ibu akan berada di rumah sakit untuk beberapa saat. Kalau sudah bersalin nanti, ibu ingin ia menengok dan menemani ibu beserta adik agar adiknya bisa segera bertemu kakaknya. beri gambaran tentang situasi yang dihadapi di awal waktu.

2. Dekatkan Hatinya
Semakin mendekati kelahiran, Anda semakin perlu menunjukkan betapa asyiknya punya adik dan betapa adik sayang padanya. Tunjukkan bahwa adik nanti ingin bermain-main dengan kakaknya. Tetapi ceritakan juga bahwa di awal-awal lahir adiknya belum bisa melihat dan belum bisa bicara. Ini bahkan perlu kita sampaikan sedari awal.


SETELAH ADIK LAHIR

1. Adik Sayang Padanya
Saat-saat awal lahir, yang sangat penting untuk Anda tunjukkan adalah bahwa yang baru lahir itu adalah adiknya. Tunjukkan wajah gembira Anda ketika ia pertama kali muncul. "Itu kakak. Ini adiknya sudah nunggu. Adik ingin ketemu." Sampaikan bahwa adik sayang sekali padanya. Bukan sebaliknya, menyuruh agar ia sayang pada adiknya. Boleh saja kita menyampaikan pesan seperti itu, tapi setelah menunjukkan bahwa adik sayang padanya.

2. Tunjukkan Perhatian Dan Kerinduan
Setiap kali ada kesempatan yang leluasa, beri perhatian yang hangat kepada anak. Tunjukkan kerinduan Anda dan kerinduan adiknya kepadanya. Sehabis dimandikan, ketika bayi merasa tenang, Anda bisa panggil ia untuk berbaring di dekat bayi sehingga ia merasa dekat.

Sumber: Kolom Parenting, Majalah Suara Hidayatullah, Edisi 06/XXI/Oktober 2008

Kamis, 18 September 2008

Sistem Pembelajaran Dominan Otak Kiri


Sistem Pembelajaran Dominan Otak Kiri. Kelemahan dari sistem pembelajaran yang ada saat ini adalah belum diaktifkannya belahan otak kanan. Penggunaan otak kiri masih sangat dominan. Suasana pembelajaran di SD, misalnya, karena sudah dianggap lebih dewasa dari usia TK, maka dianggap tidak memerlukan gambar dan warna. Suasana dinding kelas dibiarkan berwarna suram tanpa hiasan, buku-buku pelajaran pun tidak lagi berwarna dan bergambar. Guru mengajar dengan banyak bercerita dan mendikte, sementara siswa hanya mendengar dan mencatat.

Orang tua dan guru merasa risih jika anak belajar sambil menggoyang-goyangkan kaki, dengan mulut yang terus menggumamkan senandung lagu, serta tangan yang tak henti-hentinya mencoret-coret gambar di kertas. Semua itu dianggap gerakan yang mengada-ada dan dikhawatirkan mengganggu konsentrasi anak.

Persepsi bahwa cara belajar yang baik harus selalu teratur, di kelas yang selalu sama, dengan bangku yang berbaris rapi, suasana harus sepi, pandangan harus tertuju pada guru, adalah menggambarkan ciri-ciri kerja otak kiri saja. Dan inilah yang selama ini kita kenal sebagai cara pembelajaran yang lazim ditemui, baik di rumah maupun di sekolah.

Dengan menciptakan “fun learning”, dominasi otak kiri ini akan kita dobrak. Ciri-ciri otak kanan harus mulai dimunculkan dan disinergikan dalam proses pembelajaran, sehingga mampu melejitkan kemampuan daya tangkap anak terhadap pelajaran yang diberikan. Maka, tak perlu ragu untuk menciptakan suasana belajar yang kreatif, penuh berbagai corak warna, dipadukan beragam permainan dan humor, berpindah-pindah tempat dan diiringi musik lembut mengalun.

Selasa, 16 September 2008

Keseimbangan Otak Kanan Dan Otak Kiri


Keseimbangan Otak Kiri Dan Otak Kanan. Penciptaan “fun learning” baru bisa tercapai jika orang tua dan pendidik memperhatikan pengelolaan otak kiri dan otak kanan. Teori pendidikan terbaru mengatakan, otak akan bekerja optimal apabila kedua belahan otak ini dipergunakan secara bersama-sama. Otak kanan memiliki spesifikasi berpikir dan mengolah data seputar perasaan, emosi, seni dan musik. Sementara otak kiri berfungsi mengolah data seputar numerik, sains, bisnis dan pendidikan.

Penggunaan sisi belahan otak kiri merupakan spesifikasi cara berpikir yang logis, sekuensial, linear dan rasional. Hal ini sangat tepat untuk memikirkan keteraturan dalam berekspresi secara verbal, tulisan, membaca, asosiasi auditorial, penempatan detil dan fakta, fonetik serta simbolisme.

Sementara cara berpikir otak kanan bersifat acak, tidak teratur, intuitif dan holistik. Ini mewakili cara berpikir non verbal, seperti perasaan dan emosi, kesadaran spasial, pengenalan bentuk dan pola, musik, seni, kepekaan warna, kreativitas dan visualisasi.
Jika anak belajar dengan hanya menggunakan otak kiri, sementara otak kanannya tidak diaktifkan, maka akan mudah timbul perasaan jenuh, bosan dan mengantuk. Sebaliknya, mereka yang hanya memanfaatkan otak kanan tanpa diimbangi pemanfaatan otak kiri, bisa jadi ia akan lebih banyak menyanyi, mengobrol atau menggambar dan hanya menyerap sedikit ilmu dan pelajaran yang diberikan.

Maka, menyeimbangkan penggunaan otak kiri dan otak kanan menjadi penting dalam menciptakan suasana belajar yang menyenangkan. Caranya, dengan menyertakan paduan antara spesifikasi pekerjaan otak kiri dengan otak kanan. Mengerjakan PR dengan diiringi alunan musik, misalnya. Atau dengan menciptakan aneka gambar dan simbol yang memiliki arti khusus ketika menghafal pelajaran sejarah.

Keseimbangan Otak Kanan Dan Otak Kiri


Keseimbangan Otak Kiri Dan Otak Kanan. Penciptaan “fun learning” baru bisa tercapai jika orang tua dan pendidik memperhatikan pengelolaan otak kiri dan otak kanan. Teori pendidikan terbaru mengatakan, otak akan bekerja optimal apabila kedua belahan otak ini dipergunakan secara bersama-sama. Otak kanan memiliki spesifikasi berpikir dan mengolah data seputar perasaan, emosi, seni dan musik. Sementara otak kiri berfungsi mengolah data seputar numerik, sains, bisnis dan pendidikan.

Penggunaan sisi belahan otak kiri merupakan spesifikasi cara berpikir yang logis, sekuensial, linear dan rasional. Hal ini sangat tepat untuk memikirkan keteraturan dalam berekspresi secara verbal, tulisan, membaca, asosiasi auditorial, penempatan detil dan fakta, fonetik serta simbolisme.

Sementara cara berpikir otak kanan bersifat acak, tidak teratur, intuitif dan holistik. Ini mewakili cara berpikir non verbal, seperti perasaan dan emosi, kesadaran spasial, pengenalan bentuk dan pola, musik, seni, kepekaan warna, kreativitas dan visualisasi.
Jika anak belajar dengan hanya menggunakan otak kiri, sementara otak kanannya tidak diaktifkan, maka akan mudah timbul perasaan jenuh, bosan dan mengantuk. Sebaliknya, mereka yang hanya memanfaatkan otak kanan tanpa diimbangi pemanfaatan otak kiri, bisa jadi ia akan lebih banyak menyanyi, mengobrol atau menggambar dan hanya menyerap sedikit ilmu dan pelajaran yang diberikan.

Maka, menyeimbangkan penggunaan otak kiri dan otak kanan menjadi penting dalam menciptakan suasana belajar yang menyenangkan. Caranya, dengan menyertakan paduan antara spesifikasi pekerjaan otak kiri dengan otak kanan. Mengerjakan PR dengan diiringi alunan musik, misalnya. Atau dengan menciptakan aneka gambar dan simbol yang memiliki arti khusus ketika menghafal pelajaran sejarah.

Menciptakan "Fun Learning"


Menciptakan Fun Learning. Mendatangkan suasana “fun” saat belajar bisa menyebabkan otak terkondisi untuk menyerap informasi pelajaran dengan optimal. Ada banyak cara untuk menciptakan “fun learning” atau suasana belajar yang menyenangkan ini. Tetapi, secara umum, ada 2 hal yang harus diperhatikan.

Pertama, kegiatan belajar itu harus sesuai dengan perkembangan anak pada usianya. Masing-masing anak memiliki fase perkembangan sesuai dengan perkembangan usianya. Anak usia enam tahun memiliki rentang konsentrasi yang lebih sempit dibanding anak yang berusia delapan tahun.

Kedua, “fun learning” hanya bisa diciptakan melalui beragam kreatifitas, baik dalam pemilihan waktu, tempat, penataan suasana hingga pemakaian metoda pembelajaran. Kreatifitas dapat menghilangkan kejenuhan dan menimbulkan gairah keingintahuan, tantangan serta semangat baru. Oleh sebab itu, semakin banyak suasana belajar bisa dirancang, semakin besar potensi otak untuk merekam informasi sebanyak-banyaknya.

Sesuatu yang kreatif berarti berbeda dengan biasanya, lain dari yang lain, istimewa dan tidak monoton. Berarti, semakin kreatif cara belajar yang digunakan, semakin optimal daya tangkap anak terhadap materi pembelajaran.

Untuk bisa kreatif, diperlukan suatu keberanian untuk tampil beda. Jangan ragu untuk melakukan sesuatu yang baru, walaupun pada awalnya terasa janggal. Bebaskanlah otak kita untuk mengembara mencari ide-ide baru sebanyak mungkin. Ide yang awalnya tampak aneh sekalipun, bisa direalisasi setelah disesuaikan dengan kondisi nyata yang dihadapi.

Jumat, 12 September 2008

Belajar: Beban Atau Kegembiraan?


Belajar: Beban Atau Kegembiraan? Apakah “belajar” dirasakan sebagai hak atau kewajiban bagi anak atau murid Anda? Bisa jadi jawabannya akan berbeda antara anak yang satu dengan yang lain. Ada yang menganggap sebagai ‘hak’, karena dengan belajar itulah ia memperoleh kegembiraan dan keceriaan. Baginya, belajar sangat menyenangkan sehingga justru kehadirannya sangat ditunggu-tunggu dan kepergiannya membekaskan kesan yang indah dalam hati.
Sebaliknya, ada anak yang menganggap ‘belajar’ hanya sebagai ‘kewajiban’, yang justru ingin ia hindari karena ia tak ingin menghentikan permainan bersama teman-temannya. Bagi anak ini, belajar hadir sebagai beban yang harus ia kerjakan berdasarkan nilai kewajibannya. Ia tak memperoleh kepuasan ketika melaksanakannya, kecuali keinginan menyelesaikan tugas itu segera demi memperoleh hak bermain yang baru bisa ia peroleh setelah kewajiban belajar itu ia kerjakan.
Kedua anak tersebut bisa jadi melakukan hal yang sama, yaitu belajar, tetapi yang mereka peroleh jauh berbeda. Anak yang pertama menjadi giat belajar tanpa menunggu diperintah, tidak menunda-nunda untuk memperoleh haknya, bahkan sekuat tenaga ia akan berusaha mempertahankan haknya jika ada yang hendak menghalangi.
Lain halnya yang diperoleh anak yang kedua. Ia cenderung ingin menghindar dari belajar dan akan menunda sebisa mungkin. Jika proses belajar terhambat dan terhenti, itu akan menyenangkan bagi dirinya.
Perbedaan pokok yang membuat kegiatan belajar bisa dirasakan sebagai ‘hak’ atau ’kewajiban’ oleh anak adalah terletak pada perbedaan cara mengemasnya. Jika proses belajar dikemas dengan ‘fun’, menyenangkan, kreatif dan rekreatif, maka anak akan menganggapnya sebagai ‘hak’, karena melalui proses belajar tersebut ia dapat memenuhi kebutuhan bermainnya. Sementara proses belajar justru akan hadir sebagai beban manakala tidak mampu menghadirkan suasana kegembiraan yang dibutuhkan oleh anak.
Nah, tinggal kita para orang tua dan pendidik bertanya pada hati kecil kita, termasuk kelompok manakah anak dan murid kita?

Rabu, 10 September 2008

Penerimaan Yang Membangkitkan Kehebatan


Penerimaan Yang Membangkitkan Kehebatan. Penerimaan dan kepercayaan yang tulus dari orang tua kepada anak dapat melahirkan rasa percaya diri yang sangat besar, semangat yang luar biasa dan penerimaan diri yang bagus. Dari penerimaan yang tulus akan berkembang harga diri yang baik sehingga anak memiliki citra diri yang baik serta kemampuan mengendalikan emosi yang mantap. Semua ini pada akhirnya memberi sumbangan pada tumbuhnya keyakinan yang kuat untuk terus maju dan memperbaiki kemampuan dirinya.
Masalahnya, banyak orang tua yang merasa telah memberikan penerimaan dan kepercayaan yang tulus kepada anaknya, tetapi si anak selalu lari dari rumah dan prestasinya sangat rendah. Apa yang salah dengan semua ini?
Jawabannya adalah cara kita mengkomunikasikan penerimaan dan kepercayaan.
Cara mengkomunikasikan masalah sangat berpengaruh terhadap efek yang ditimbulkan. Maksud baik tanpa disertai cara komunikasi yang baik dapat menyebabkan tujuan tidak tercapai, bahkan hancur berantakan.
Lalu, bagaimana cara mengkomunikasikan penerimaan yang tulus?
Banyak peluang untuk menunjukkan penerimaan yang tulus kepada anak dan umumnya justru cara-cara yang menjadi kunci penerimaan itu sangat sederhana dan sepele. Misalnya, berikanlah senyuman pada anak saat ia meraih prestasi, sekecil apa pun prestasi itu. Jika anak berbicara, meskipun “tidak berisi”, dengarkanlah dengan penuh perhatian dan senyuman yang hangat. Jika orang tua mendengarkan anak secara aktif, memberi kehangatan, dan bila perlu belaian saat dia gagal memperoleh prestasi, orang tua sudah memberi penerimaan yang baik.
Kesimpulannya, jika kita ingin melahirkan kemandirian, keunggulan dan kedamaian dalam keluarga, salah satu kuncinya adalah penerimaan yang hangat dan tulus. Penerimaan itu tidaklah dirasa sebagai penerimaan yang tulus apabila cara kita mengkomunikasikan tidak tepat. Jadi, terimalah anak kita dan komunikasikan dengan sebaik-baiknya.

Selasa, 09 September 2008

Kenali Bakat Anak Anda


Kenali Bakat Anak Anda. Bakat adalah kecenderungan alamiah yang dimiliki seorang anak, suatu kemampuan yang built in sejak dia lahir, yang memungkinkan ia melakukan sesuatu dengan baik. Bakat biasanya tersembunyi, tidak mudah dikenali. Pemilik bakat sendiri kadang-kadang tidak mengetahui kalau dirinya mempunyai bakat tertentu. Itu sebabnya, orang tua perlu membantu anak menemukan bakatnya. Persoalannya, bagaimana cara mengenali bakat?

Secara ringkas, ada tiga ciri bakat yang perlu kita ketahui:

  1. Anak melakukan dengan perasaan senang. Ketika lain kali melakukan hal yang sama, rasa senang itu cenderung muncul lagi
  2. Cenderung dipahami oleh anak dengan relatif lebih cepat dan dilakukan lebih sering dari hal-hal yang lain, serta dilakukan lebih banyak atas inisiatif sendiri
  3. Apa yang dilakukan mengarah pada pencapaian prestasi, meskipun prestasi itu kadang oleh orang tua belum dianggap suatu prestasi. Sekedar keberanian membaca puisi di depan kelas sudah dapat diartikan prestasi bagi anak, walaupun bagi guru dan orang tua barangkali tidak ada artinya

Bila bakat sudah ditemukan, orang tua tinggal memikirkan pengembangannya. Orang tua bisa menangani sendiri bakat anak, atau bisa juga menyerahkan ke lembaga pengembangan bakat yang sesuai dengan bakat anak.

Selasa, 02 September 2008

Hadiah Dan Hukuman: Metoda Perantara

Hadiah Dan Hukuman: Metode Perantara. Metode pemberian hadiah dan hukuman boleh diterapkan untuk memotivasi anak agar mau berbuat baik. Namun yang penting dipahami bahwa metode ini bukan satu-satunya metode yang menjadi pilihan bagi orang tua. Bukan pula metode terbaik. Hal ini disebabkan karena metode ini masih memiliki ketergantungan pada faktor eksternal, yaitu pada hadiah dan hukuman itu sendiri.
Ada metode lain yang lebih baik, yaitu ketika anak mau memperbaiki kepribadiannya atas dasar kesadaran diri dan motivasi yang muncul dari dalam dirinya sendiri. Hal ini biasa disebut motivasi intrinsik. Metode ini jauh lebih baik karena tidak memiliki ketergantungan terhadap faktor eksternal, sehingga anak lebih mudah mengelola dirinya sendiri kapan saja dan di mana saja.
Sementara metode pemberian hadiah dan hukuman sebaiknya dijadikan metode perantara saja dalam rangka menumbuhkan motivasi intrinsik pada diri anak. Ketika metode intrinsik sudah muncul pada diri anak, metode pemberian hadiah dan hukuman ini bisa diakhiri.
Oleh sebab itu, pemberlakuan metode hadiah dan hukuman ini harus direncanakan target masa berakhirnya. Sementara orang tua dan pendidik mempelajari cara-cara menumbuhkan motivasi intrinsik ini, agar dapat menerapkannya sedikit demi sedikit bersamaan dengan metode hadiah dan hukuman ini.
Walaupun hanya sebagai metode perantara, metode hadiah dan hukuman ini banyak dimanfaatkan oleh orang tua karena relatif lebih mudah dilakukan dan lebih cepat menampakkan hasil dibandingkan metode penumbuhan motivasi intrinsik.

Sehari Bersama Ayah

Sehari Bersama Ayah. Berapa kalikah dalam sebulan, para ayah meluangkan waktu barang sehari bersama anak-anaknya? Jawabannya pasti beragam. Lalu, seberapa besar frekuensi kebutuhan anak berinteraksi aktif dengan ayahnya?
Secara ideal, interaksi ayah dengan anak memang tidak bisa didefinisikan secara kaku. Seorang ayah yang tinggal di rumah seharian bersama anaknya, tetapi tidak menjalin komunikasi efektif, bisa jadi kualitasnya sama dengan pertemuan yang hanya setengah jam di pembaringan sambil membacakan buku cerita pengantar tidur.
Efektivitas pertemuan ayah dan anak berpulang pada pribadi masing-masing sang ayah. Ada ayah yang memiliki tipe pasif alias kurang pandai berkomunikasi. Lebih banyak diam, hanya menjawab sekadarnya bila ditanya. Maka, solusi praktis untuk ayah semacam ini adalah memperpanjang waktu kebersamaan bersama anak. Pilih kegiatan yang cukup menarik walaupun tanpa memerlukan komunikasi terlalu banyak. Misalnya, memotong rumput di kebun, membuat kandang ayam, rekreasi ke taman ria atau silaturahim ke rumah famili.
Sebenarnya, apa yang dibutuhkan anak dari seorang ayah? Jawabannya adalah figur ayah. Konsep anak tentang sosok ayah tak jauh dari peran ayah dalam keluarga, interaksi sosialnya kepada ibu dan anak-anaknya. Sehingga anak mampu mencetaknya dalam memori sebagai figur ayah yang ia pahami selamanya. Terlebih bagi anak laki-laki. Ia harus memperoleh contoh terbaik dari figur ayah ini, karena kelak baik secara sadar maupun tidak, ia akan meneladani karakter ayah dalam menjalani kehidupan bersama istri dan anaknya.
Akan lebih efektif jika seorang ayah mampu memberikan apa yang belum diberikan ibu kepada mereka. Melengkapi kekurangan ibu, maksudnya. Permainan fisik, jalan-jalan ke sawah, lomba lari, sepak bola, atau berkebun merupakan hal-hal yang tidak diperoleh dari ibu tapi bisa diperoleh dari ayah.
Bekal yang wajib dibawa ayah saat mendampingi anak adalah sabar. Untuk yang satu ini, lebih baik menyediakan kesabaran yang tiada habisnya. Sebuah resep yang bagus untuk bisa bersabar adalah kemauan secara totalitas untuk masuk ke dunia anak. Tinggalkan semua beban pikiran dan pekerjaan. Niatkan untuk meluangkan waktu sepenuhnya untuk anak.
Sisihkan waktu 10-15 menit sehari untuk berkomunikasi secara efektif dengan anak. Hal ini akan tetap bermanfaat dan membekas di hati anak hingga dewasa kelak.

Selasa, 26 Agustus 2008

Merangsang Anak Gemar Membaca


Merangsang Anak Gemar Membaca. Kenyataan yang terjadi saat ini, kebiasaan membaca buku pada anak mengalami penurunan yang sangat drastis. Sangat sedikit ditemui anak yang gemar membaca. Banyak faktor yang mempengaruhinya. Mulai dari orang tua yang sibuk dan kurang mengerti arti pentingnya membaca, mahalnya harga buku bermutu, hingga gencarnya serangan film-film kartun di televisi. Padahal, kebiasaan membaca sangat penting ditanamkan pada anak sebagai modal dasarnya untuk mencari ilmu di masa depan.
Membiasakan anak untuk membaca tidak bisa dicapai hanya dalam waktu beberapa hari. Anda harus ekstra sabar karena upaya ini bisa memakan waktu yang lama dan biaya yang tidak sedikit. Lakukan pembiasaan membaca ini sedini mungkin mulai usia pra sekolah. Keterlambatan hanya akan mempersulit di kemudian hari.
Buku di mana-mana
Kunci utama pengenalan buku kepada anak adalah besarnya frekuensi pertemuan yang menyenangkan dengan buku. Apalagi jika banyak buku menarik yang Anda sediakan khusus untuk anak. Biasakanlah di mana pun dan kapan pun, mereka melihat dan membaca buku. Membaca santai di ruang keluarga, di ruang tidur, di ruang makan; pagi, siang atau pun malam.
Sebagai langkah awal, carikan buku yang paling menarik dan disukai anak. Bacaan jenis komik adalah jembatan menuju buku yang lebih berkualitas. Kelebihan komik terletak pada gambar yang kaya warna, kalimat pendek dan ringan sesuai dengan kemampuan anak yang belum terbiasa membaca kalimat padat dan lengkap.
Jangan kecewa jika anak-anak Anda hanya membuka-buka buku yang telah Anda beli dengan harga tinggi. Mungkin hanya gambarnya saja yang mereka amati, atau bahkan kemudian dicoret-coret atau dirobek. Arahkan mereka untuk lebih mencintai buku dengan tidak mencoret dan merobek. Biarkan anak asyik dengan kegiatannya membolak-balik buku berulang-ulang. Ini adalah tanda awal keberhasilan tahap pengenalan yang harus segera direspon lebih lanjut oleh Anda, orang tua.
Bangkitkan motivasinya
Bangkitkan motivasi anak untuk membaca dengan cara membolehkan memilih sendiri buku yang akan ia baca. Anak akan bangkit motivasinya jika ia menemukan keasyikan dan kenikmatan dalam membaca. Tak ada gunanya memaksa anak untuk membaca buku-buku yang bagus menurut selera Anda. Yang lebih penting adalah menumbuhkan keasyikan terlebih dahulu. Sabarlah, karena kelak jika keasyikan telah tumbuh, akan lebih mudah untuk menyuruhnya memilih.
Jadilah orang tua pembaca
Ketika melihat orang tuanya begitu antusias dan serius membaca buku, anak akan penasaran dan termotivasi untuk meniru. Jangan marah jika anak “mengganggu” waktu membaca Anda dengan melihat-lihat buku yang Anda baca. Berikan tanggapan yang positif atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Maka, jika Anda menginginkan anak yang gemar membaca, jadilah orang tua yang gemar membaca.

Selasa, 19 Agustus 2008

Mengakomodasi 3 Cara Belajar


MENGAKOMODASI 3 CARA BELAJAR. Kegiatan belajar mengajar dengan pola guru berdiri di depan kelas, membawa buku paket sambil menerangkan materi, meminta murid ikut membuka buku di atas meja sambil mendengarkan penjelasan guru. Itu semua adalah model pembelajaran konvensional. Pola pembelajaran seperti ini hanya cocok untuk siswa yang menggunakan cara ‘pendengaran (audio)’ sebagai metoda belajarnya.
Ini akan menjadi bencana bagi siswa yang memiliki cara belajar ‘penglihatan (visual)’ atau ‘gerakan (kinestetis)’. Mereka akan cepat bosan sehingga cenderung mencari kesibukan sendiri.
Pembelajaran di kelas baru akan efektif jika mampu mengakomodasi semua cara belajar yang dimiliki seluruh siswa dalam kelas tersebut. Secara garis besar ada 3 jenis cara belajar anak, yaitu cara ‘pendengaran (audio)’, ‘penglihatan (visual)’ serta ‘gerakan (kinestetis)’.
Ciri-ciri Pelajar Audisi
Ø Sangat terpengaruh oleh keributan di sekitarnya
Ø Suka berbicara panjang lebar dan berargumen
Ø Lebih suka bercerita daripada menulis
Ø Kerap berbicara pada diri sendiri saat sibuk
Ø Lebih senang membaca dengan suara keras
Ø Mudah menghafal lagu yang didengar
Ø Mudah menerima keterangan yang disampaikan guru
Ciri-ciri Pelajar Visual
Ø Lebih mudah memahami dan mengingat apa yang dilihat
Ø Lebih suka membaca daripada dibacakan
Ø Cara bicaranya cenderung cepat
Ø Suka mengingat dengan menggunakan asosiasi visual
Ø Tanpa sadar mencoret-coret kertas tanpa tujuan
Ø Biasanya lebih mementingkan penampilan fisik
Ciri-ciri Pelajar Kinestetis
Ø Memberikan respon fisik yang besar terhadap segala sesuatu
Ø Melibatkan sebagian anggota tubuh ketika belajar
Ø Lebih mudah memahami sesuatu dengan cara dipraktekkan
Ø Lebih mudah menghafal dengan cara berjalan dan bergerak
Ø Banyak memanfaatkan isyarat tubuh
Ø Suka permainan yang banyak gerak dan menyibukkan
Ø Sulit untuk bisa duduk diam dalam waktu lama

Senin, 18 Agustus 2008

Tips Membangunkan Anak Sahur

Tips Membangunkan Anak Sahur. Sahur…..! Sahur…..! Bunyi kentongan yang ditabuh ribut para pemuda kampung bisa jadi cukup efektif membangunkan anak untuk sahur di hari-hari pertama Ramadhan. Tetapi, belum tentu kiat ini efektif untuk hari-hari berikutnya selama sebulan yang tiga puluh hari itu. Perlu ada beragam variasi cara untuk membangunkan anak agar bersemangat makan sahur.
Sentuhan bisa diberikan pada penyusunan menu makanan dan minuman yang menarik dan membangkitkan selera makan anak. Sentuhan penunjangpun bisa diberikan dengan menciptakan suasana menggembirakan yang juga membantu menyegarkan badan anak. Tentu saja, kreativitas ibu sangat diperlukan untuk menemukan cara menarik yang beragam dan bervariasi dari pagi ke pagi berikutnya. Mau tahu kiat-kiatnya?

Mengusir kantuk

Sebelum merancang kiatnya, perlu diketahui dulu kendalanya. Pertama dan utama adalah rasa kantuk. Untuk melawan kendala ini, harus dipastikan bahwa jatah tidur anak setiap harinya tetap terpenuhi, tidak berkurang lamanya. Jika di luar bulan puasa mereka tidur dalam sehari selama 10 jam, maka sejumlah itu pulalah mereka perlu tidur di bulan suci Ramadhan.
Jumlah jam tetap sama, hanya pemilihan waktunya yang bisa divariasi dan disesuaikan dengan jadwal kegiatan Ramadhan anak secara keseluruhan. Ada anak yang memiliki banyak teman bermain di sekitar rumah, sehingga memilih untuk menghabiskan waktu siang dan sore hari untuk bermain. Maka, anak itu harus segara tidur seusai shalat tarawih, agar bisa bangunketika sahur.
Namun jika jumlah tidur di malam hari ini pun belum mencukupi jumlahnya, ijinkan mereka tidur barang satu hingga dua jam usai shalat subuh untuk mengganti jam tidurnya.
Anak yang tidak memiliki teman bermain, mungkin lebih memilih tidur siang, sehingga di malam hari ia masih bisa meluangkan waktu menonton televisi acara khusus Ramadhan.

Mengusir rasa malas

Kendala ke dua adalah rasa malas, karena tubuh masih lemas setelah tidur berjam-jam lamanya. Aliran darah belum bisa tersalur lancar ke seluruh bagian tubuh, sehingga banyak bagian badan anak yang terasa lemas dan susah bergerak.
Secara alami, tubuh anak akan mengatasi kendala ini dengan gerakan meregang ( molet ). Secara refleks tangan dan kaki ditarik-tarik, supaya otot tergerak dan darah bisa mengalir lebih lancar. Tulang-tulang pun digerak-gerakkan supaya tidak terasa kaku.
Ajak anak untuk segera duduk setelah ia membuka mata. Biarkan beberapa saat, baru kemudian ajak mereka turun dari tempat tidur menuju ruang makan. Jangan terlampau tergesa memaksa anak untuk segera berada di depan meja makan. Kalau perlu, Anda bisa bawakan minuman hangat ke tempat tidur mereka dan menyuruh anak meminumnya sembari duduk, untuk lebih cepat menyegarkan badan.

Menyegarkan mata

Selain menyegarkan tubuh dengan gerakan-gerakan ringan, mata anak pun segera disegarkan kembali. Televisi merupakan cara terbaik untuk merangsang mata anak agar cepat terbuka. Lagu-lagu Ramadhan untuk anak, cerita kartun kisah nabi-nabi, akan cukup menyenangkan sebagai teman sahur bagi anak.
Anda pun bisa menyediakan buku-buku bacaan bergambar yang menarik. Bagi anak yang terbiasa membaca buku cerita, akan cukup efektif membangunkan mereka dengan memberikan bacaan kesenangan mereka.

Menyegarkan hidung dan mulut

Akhirnya, tujuan akhir membangunkan anak di pagi dini hari adalah agar mereka menghabiskan santap sahurnya. Dalam hal ini, lidah dan hidung memiliki peranan besar. Jika ke dua indera ini sudah terangsang, anak akan menghabiskan hidangan sahur dengan penuh semangat.
Anda bisa memilih menu-menu makanan yang beraroma harum. Opor, soto maupun rawon yang terhidang hangat, baunya cukup nikmat untuk menyegarkan hidung. Tiap anak memiliki kegemaran aroma yang berbeda-beda dan Andalah yang seharusnya paling mengenali kegemaran anak-anak itu. Untuk merangsang lidah, pilih menu-menu ringan kesukaan anak. Jangan memaksakan diri untuk menyediakan masakan-masakan baru yang harus Anda masak di tengah malam, karena ini akan sangat menguras tenaga. Memilih menu makanan yang sudah dimasak semenjak sore dan tinggal menghangatkan ketika sahur akan menjadi pilihan yang bijaksana.

Minggu, 17 Agustus 2008

Aspek EQ Yang Perlu Dikembangkan


Aspek EQ Yang Perlu Dikembangkan. Idealnya, anak punya IQ dan EQ bagus. Jadi, bersamaan dengan kita kembangkan IQ-nya, aspek EQ-nya juga dikembangkan. Nah, berikut 5 aspek EQ yang harus dikembangkan.
1. Kemampuan mengenali diri sendiri
Latih anak untuk menganalisa perasaannya sejak ia mengembangkan kemampuan untuk memilah atau mengategorikan pengalaman. Anak usia 2 tahun sudah bisa merasakan pengalaman yang menyenangkan dan yang tidak menyenangkan. Namun apa saja bentuk pengalaman tersebut, baru bisa dirasakan anak di usia 5 tahun.
2. Kemampuan mengolah dan mengekspresikan emosi dengan tepat
Sebenarnya, usaha mengelola emosi sudah dijalankan anak sejak awal kehidupannya, meskipun ia belum tahu emosi apa yang dirasakannya. Perlu diingat, ekspresi emosi tidak selalu verbal. Bisa juga terlihat dari tatapan muka, gerak-gerik, dan sebagainya. Hanya orang tua yang peka yang akan mengenali ekspresi emosi anaknya.

3. Kemampuan memotivasi diri sendiri

Memotivasi diri sendiri erat kaitannya dengan ketekunan, yang biasanya berkembang melalui proses. Anak yang tekun, rentang perhatiannya lebih besar. Rentang perhatian juga bervariasi, tergantung usia anak.

4. Kemampuan mengenali emosi orang lain
Kemampuan ini merupakan dasar berempati, yaitu kemampuan mengerti dan memahami perasaan orang lain. Ini sangat diperlukan anak kelak dalam membina hubungan dengan orang lain. Kunci berempati ialah kemampuan membaca pesan nonverbal, seperti nada bicara, gerak-gerik, ekspresi wajah dan lain-lain.
5. Kemampuan membina hubungan dengan orang lain
Kemampuan ini baru bisa diperoleh bila anak memiliki ke empat kemampuan di atas. Selain itu, anak juga harus merasa aman di lingkungan ia berada. Rasa aman ini akan membuat anak percaya dan punya kemampuan untuk membina hubungan dengan orang lain.

Kamis, 14 Agustus 2008

Mandiri Bekal Masa Depan

Mandiri Bekal Masa Depan. Dalam masyarakat yang penuh persaingan sekarang ini, sukses tidak bisa diraih begitu saja. Banyak sifat pendukung kemajuan harus dibina sejak kecil. Salah satu di antaranya adalah kemandirian.
Membimbing anak untuk mandiri tidak lain ialah mengembangkan kreativitasnya untuk berbuat sesuatu sendiri. Bukan menghambat kreativitasnya dengan bermacam-macam larangan yang timbul karena kekhawatiran kalau-kalau anak itu bakal celaka, mengganggu lingkungan, atau ‘membuat malu’ keluarga karena ketidakmampuannya.
Intervensi langsung oleh orang tua tidak akan membuat anak mandiri. Kalau memang sudah mampu mengerjakan sesuatu (walaupun tidak sempurna), ia harus kita biarkan melakukannya sendiri. Kalau belum mampu, ya kita ajari dia dengan melakukannya bersamanya. Bukan kita lakukan sendiri (untuk dia), sedang anak kita suruh duduk diam menjadi penonton yang manis.
Persoalan yang paling sulit dalam usaha memandirikan anak adalah bagaimana mengubah pandangan kita (orang dewasa) mengenai kebutuhan anak. Kita terbiasa melayani anak sampai lupa bahwa anak mestinya diajari bagaimana melakukan sesuatu untuk memenuhi kebutuhannya dengan kemauan dan kemampuan sendiri.
Untuk mengajari anak agar dapat makan sendiri, mengerjakan PR sendiri, memang jauh lebih banyak memerlukan kesabaran dan keterampilan daripada hanya menyuapi, memakaikan sepatu dan membuatkan PR anak. Padahal mereka justru memerlukan bimbingan, bukan pelayanan.
Namun, banyak orangtua merasa kasihan dan tidak tega melihat anaknya mengerjakan segala sesuatu sendiri, padahal anak itu sudah mampu. Sebenarnya, kita justru harus lebih kasihan pada anak yang serba dilayani dan tidak diajari melakukan sesuatu sendiri. Anak itu tidak bisa mandiri dan selalu tergantung pada orang lain. Ia akan terhambat perkembangannya untuk mandiri dan mencapai kebebasannya sebagai manusia dewasa di kemudian hari. Gara-gara kita, orang tuanya, kasihan dan tidak tega!
Bimbingan kepada anak untuk menjadi mandiri, sebenarnya sudah harus dimulai dari lingkungan keluarga. Tidak hanya berupa pemberian kesempatan untuk mengembangkan diri sesuai kepribadian masing-masing (seperti bakat, minat, kebutuhan dan kecakapan), tapi juga bimbingan karir yang serasi dengan minat dan kemampuannya yang memberi kepuasan lahir dan batin.
Namun, sekarang banyak terjadi dalam keluarga dimana ke dua orangtua bekerja, perawatan dan pengawasan anak diserahkan kepada baby sitter, pengasuh atau malah pembantu rumah tangga. Akibatnya, anak tidak diberi bimbingan, tapi hanya pelayanan. Padahal anak memerlukan bimbingan yang seharusnya dilakukan dengan sungguh-sungguh dan sadar direncanakan dengan tujuan yang akan dicapai. Pembimbing harus mampu bertindak sebagai pendorong semangat, pemberi nasihat dan menjadi teladan yang patut dicontoh. Melihat peran pembimbing yang demikian, sungguh sulit membayangkan bagaimana hasilnya nanti, kalau bimbingan anak hanya diserahkan kepada pengasuhnya.
Lalu, bagaimana jalan keluarnya jika ke dua orangtua bekerja?
Yang lebih berpengaruh dalam pembimbingan anak adalah intensitas perhatian orangtua, bukan lamanya menunggu anak di rumah. Yang penting kualitas pertemuannya, bukan kuantitasnya. Boleh saja kita mempercayakan pengasuhan pada orang lain, tapi perhatian yang besar dan afeksi (kasih sayang) terhadap anak harus ditunjukkan dengan tulus. Tidak baik kalau orang tua setiba dari kantor dan anaknya meminta perhatian, kemudian dijawab, “Wah, Mama capek sudah kerja seharian! Mau istirahat!”. Kemudian anak disuruh main bersama pengasuhnya lagi.