Mandiri Bekal Masa Depan. Dalam masyarakat yang penuh persaingan sekarang ini, sukses tidak bisa diraih begitu saja. Banyak sifat pendukung kemajuan harus dibina sejak kecil. Salah satu di antaranya adalah kemandirian.
Membimbing anak untuk mandiri tidak lain ialah mengembangkan kreativitasnya untuk berbuat sesuatu sendiri. Bukan menghambat kreativitasnya dengan bermacam-macam larangan yang timbul karena kekhawatiran kalau-kalau anak itu bakal celaka, mengganggu lingkungan, atau ‘membuat malu’ keluarga karena ketidakmampuannya.
Intervensi langsung oleh orang tua tidak akan membuat anak mandiri. Kalau memang sudah mampu mengerjakan sesuatu (walaupun tidak sempurna), ia harus kita biarkan melakukannya sendiri. Kalau belum mampu, ya kita ajari dia dengan melakukannya bersamanya. Bukan kita lakukan sendiri (untuk dia), sedang anak kita suruh duduk diam menjadi penonton yang manis.
Persoalan yang paling sulit dalam usaha memandirikan anak adalah bagaimana mengubah pandangan kita (orang dewasa) mengenai kebutuhan anak. Kita terbiasa melayani anak sampai lupa bahwa anak mestinya diajari bagaimana melakukan sesuatu untuk memenuhi kebutuhannya dengan kemauan dan kemampuan sendiri.
Untuk mengajari anak agar dapat makan sendiri, mengerjakan PR sendiri, memang jauh lebih banyak memerlukan kesabaran dan keterampilan daripada hanya menyuapi, memakaikan sepatu dan membuatkan PR anak. Padahal mereka justru memerlukan bimbingan, bukan pelayanan.
Namun, banyak orangtua merasa kasihan dan tidak tega melihat anaknya mengerjakan segala sesuatu sendiri, padahal anak itu sudah mampu. Sebenarnya, kita justru harus lebih kasihan pada anak yang serba dilayani dan tidak diajari melakukan sesuatu sendiri. Anak itu tidak bisa mandiri dan selalu tergantung pada orang lain. Ia akan terhambat perkembangannya untuk mandiri dan mencapai kebebasannya sebagai manusia dewasa di kemudian hari. Gara-gara kita, orang tuanya, kasihan dan tidak tega!
Bimbingan kepada anak untuk menjadi mandiri, sebenarnya sudah harus dimulai dari lingkungan keluarga. Tidak hanya berupa pemberian kesempatan untuk mengembangkan diri sesuai kepribadian masing-masing (seperti bakat, minat, kebutuhan dan kecakapan), tapi juga bimbingan karir yang serasi dengan minat dan kemampuannya yang memberi kepuasan lahir dan batin.
Namun, sekarang banyak terjadi dalam keluarga dimana ke dua orangtua bekerja, perawatan dan pengawasan anak diserahkan kepada baby sitter, pengasuh atau malah pembantu rumah tangga. Akibatnya, anak tidak diberi bimbingan, tapi hanya pelayanan. Padahal anak memerlukan bimbingan yang seharusnya dilakukan dengan sungguh-sungguh dan sadar direncanakan dengan tujuan yang akan dicapai. Pembimbing harus mampu bertindak sebagai pendorong semangat, pemberi nasihat dan menjadi teladan yang patut dicontoh. Melihat peran pembimbing yang demikian, sungguh sulit membayangkan bagaimana hasilnya nanti, kalau bimbingan anak hanya diserahkan kepada pengasuhnya.
Lalu, bagaimana jalan keluarnya jika ke dua orangtua bekerja?
Yang lebih berpengaruh dalam pembimbingan anak adalah intensitas perhatian orangtua, bukan lamanya menunggu anak di rumah. Yang penting kualitas pertemuannya, bukan kuantitasnya. Boleh saja kita mempercayakan pengasuhan pada orang lain, tapi perhatian yang besar dan afeksi (kasih sayang) terhadap anak harus ditunjukkan dengan tulus. Tidak baik kalau orang tua setiba dari kantor dan anaknya meminta perhatian, kemudian dijawab, “Wah, Mama capek sudah kerja seharian! Mau istirahat!”. Kemudian anak disuruh main bersama pengasuhnya lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar