Senin, 04 Agustus 2008

Perlukah PR?

PERLUKAH PR ? Sebagian orang tua tidak setuju, bahkan di sekolah-sekolah berpredikat full day, guru pun membatasi pemberian PR. Karena anak terlampau lelah di sekolah dan waktu di rumah semestinya digunakan untuk menjalin kebersamaan dalam keluarga. Di sisi lain, ada juga orang tua yang mengharapkan guru memberikan PR. Kalau nggak ada PR, anak tidak mau belajar, demikian dalihnya.
Perlu tidaknya pemberian PR, banyak sedikitnya jumlah soal yang diberikan, bisa jadi tidak sama antara anak satu dengan yang lain, walaupun mereka satu kelas sekalipun. Kebutuhan anak akan PR memang spesifik, tergantung beberapa faktor. Di antaranya, tentunya, kemampuan anak dalam menerima pelajaran.
Dari tujuan pemberiannya, PR dapat dibedakan menjadi 2 tujuan, yaitu tujuan remedial (pengulangan untuk meningkatkan kemampuan) dan tujuan pengayaan (perluasan bahasan tema pembicaraan). Tujuan remedial diberikan pada anak yang kemampuannya tertinggal dari target pembahasan pelajaran di kelas, sementara pengayaan diberikan kepada anak yang telah mampu menyelesaikan target pembelajaran sebelum habis batas waktu pembahasannya.
Karena untuk mengejar ketertinggalan, tujuan remedial memiliki bobot kepentingan yang lebih besar daripada tujuan pengayaan, sehingga adanya PR dianggap cukup penting. Sementara PR dengan tujuan pengayaan tidak harus dipaksakan jika ada kegiatan lain yang lebih penting bagi anak untuk mengisi waktunya di rumah.
Sayangnya, dalam pelaksanaannya pemberian PR lebih banyak menggunakan sistem “gebyah uyah”, menyamaratakan kebutuhan tiap anak tanpa mempertimbangkan faktor kemampuan anak. Akibatnya, tujuan PR hanya sebatas sarana mengulang pelajaran yang telah dibahas di sekolah atau persiapan materi yang akan dipelajari mendatang. Tentu ini menjadi “PR besar” bagi institusi pendidikan yang menginginkan peningkatan mutu pendidikan di lembaganya.
Hal lain yang penting diperhatikan dalam pemberian PR adalah kualitasnya. Jika terlalu sulit dan pengerjaannya memakan waktu lama, tentunya kurang tepat dijadikan PR karena akan menimbulkan tekanan pada anak. Efek berikutnya, malah menjadikan anak malas belajar. Belum lagi jika ditambah dengan omelan ibu atau bapak. Yang diperlukan anak saat mengerjakan PR justru dukungan orang tua. Tidak ada salahnya ibu atau bapak sekali waktu secara bergantian ikut menemani anak yang sedang mengerjakan PR.
Tapi harus diingat bahwa menemani anak mengerjakan PR bukan berarti orang tua yang mengerjakan soalnya, anak yang menulis jawabannya. Orang tua cukup mengarahkan cara menyelesaikan soal dengan benar, setelah itu biarlah anak yang menuntaskannya secara mandiri. Jawaban orang tua yang ditulis anak tentu jauh berbeda dengan jawaban yang murni dikerjakan anak.

Tidak ada komentar: